Mimpi itu bukan omong kosong. Di bawah Rudianto, PSTI Riau berhasil menghidupkan kembali kultur latihan dan kompetisi daerah. Ia menanamkan manajemen terbuka, disiplin, tapi tetap kekeluargaan. Setiap pengurus punya tanggung jawab yang jelas, setiap rupiah dana dicatat transparan.
Visinya jika dipercaya memimpin PSTI nasional sederhana tapi jelas, memperkuat pelatnas dengan sistem meritokrasi, menggandeng sponsor jangka panjang, dan memastikan kesejahteraan atlet sebagai prioritas.
“Sepak takraw bukan olahraga kecil. Ini warisan budaya yang bisa jadi kebanggaan bangsa,” ujarnya.
Baginya, olahraga Melayu itu bukan sekadar soal medali, tapi soal harga diri. Indonesia, negeri yang menjadi salah satu asal tradisi takraw, sudah seharusnya tak hanya menjadi penonton di arena dunia.
“Kalau anak-anak Riau bisa juara di Asia Tenggara, maka anak-anak Indonesia bisa juara dunia,” kata Rudianto penuh Keyakinan.
Suatu malam, selepas rapat di kantor PSTI Riau, Rudianto duduk di kursi plastik di pinggir lapangan. Lampu sorot memantulkan cahaya kuning pucat di bola rotan yang berputar di udara. Beberapa anak muda masih berlatih, tertawa ketika bola jatuh.
“Kalau nanti ada di antara mereka berdiri di podium dunia, itu sudah cukup bagi saya,” katanya pelan.
Ia tahu, mungkin tak semua pengorbanannya akan tercatat. Tapi di hatinya, sepak takraw bukan soal penghargaan pribadi, melainkan tentang menyalakan api yang lebih besar. Menarik menanti akankah Rudianto Manurung bisa naik level ke jenjang yang lebih tinggi?
(Ramdani Bur)