RIAU dikenal sebagai penghasil atlet sepak takraw. Di SEA Games 2023 Kamboja saja ada Muhammad Hafiz dan Wan Annisa, atlet sepak takraw asal Riau yang menghadirkan medali emas, perak dan perunggu bagi kontingen Indonesia.
Menjamurnya atlet sepak takraw dari Riau tak lepas dari Ketua Pengurus Provinsi Persatuan Sepak Takraw Indonesia (Pengprov PSTI) Riau, Rudianto Manurung. Ia menjabat posisi ini sejak 2021 dan baru-baru ini kembali terpilih secara aklamasi memimpin PSTI Riau empat tahun lagi, periode 2025–2029.
“Empat tahun kemarin belum menghasilkan apa-apa,” kata Rudianto saat dilantik sebagai Ketua Pengprov PSTI Riau 2025-2029.
Sosok ini memang jauh dari citra pejabat olahraga yang sibuk konferensi pers. Ia lebih sering terlihat di lapangan, berbicara dengan pelatih, memeriksa bola rotan, atau duduk di bangku penonton memantau anak-anak muda yang berlatih di bawah terik matahari.
“Kalau mengurus sepak takraw Riau menjadikan saya miskin, tak apa-apa,” ucapnya suatu kali kepada pengurus.
Kalimat itu terdengar ekstrem, tapi bukan kiasan. Ia sering memakai uang pribadi untuk transportasi atlet, membayar penginapan, bahkan membelikan perlengkapan latihan.
Ketika pertama kali menjabat Ketua PSTI Riau pada 2021, organisasi itu dalam kondisi nyaris mati suri. Kepengurusan lama vakum, turnamen sepi, dan atlet kehilangan arah. Namun, Rudianto, seorang pengacara yang menekuni olahraga dari hati memilih mulai dari bawah.
Ia berkeliling ke kabupaten satu per satu , mulai dari Rokan Hulu, Bengkalis dan Indragiri Hilir untuk membangkitkan kembali semangat pelatih dan pemain. Ia tahu betul, sepak takraw bukan sekadar olahraga, tapi bagian dari identitas Melayu yang mesti dijaga.
“Kalau bukan kita yang merawat, siapa lagi?” ujar Rudianto.
Di masa kepemimpinannya, Rudianto memprioritaskan pembinaan berjenjang. Ia memperbanyak kompetisi lokal, membuka pelatihan usia dini, menggandeng KONI dan Dispora untuk memperkuat infrastruktur. Langkah-langkah kecil itu membuahkan hasil besar.
“Anak-anak Riau bisa bersaing di level Asia Tenggara. Mereka hasil kerja keras pembinaan yang kami tanam sejak awal,” kata Rudianto.
Prestasi itu membuat namanya diperhitungkan menjadi Ketua Umum PB PSTI periode 2025-2029. Tapi, Rudianto tetap bersikap sama, sederhana, menolak berlebihan, dan enggan mengklaim kesuksesan pribadi.
“Saya hanya melanjutkan perjuangan orang-orang yang lebih dulu mencintai takraw,” ujarnya.
Sifat yang mau tulus berkorban tanpa pamrih serta mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan orang lain daripada diri sendiri membuat banyak pengurus daerah menaruh hormat. Tak heran, menjelang Musyarawah Nasional (Munas) PB PSTI bulan depan, suara dukungan agar Rudianto maju ke level nasional kian nyaring.
“Beliau punya kerja nyata, bukan hanya pidato,” kata seorang pengurus KONI dari Sumatera Barat.
“Figur seperti ini yang dibutuhkan untuk membawa sepak takraw Indonesia ke level dunia.”
Kabar terkini menyebutkan, dukungan dari Pengprov kepada Rudianto untuk memimpin PB PSTI sudah mencapai lebih dari 50 persen. Rudianto menanggapinya dengan tenang. Ia tak mau terlihat ambisius.
Namun, kepada rekan-rekan terdekatnya, ia kerap melontarkan cita-cita yang lebih besar: membawa sepak takraw Indonesia menjuarai Kejuaraan Dunia ISTAF yang digelar empat tahun sekali, serta King’s Cup, turnamen tahunan paling bergengsi di bawah Federasi Sepaktakraw Internasional.
Mimpi itu bukan omong kosong. Di bawah Rudianto, PSTI Riau berhasil menghidupkan kembali kultur latihan dan kompetisi daerah. Ia menanamkan manajemen terbuka, disiplin, tapi tetap kekeluargaan. Setiap pengurus punya tanggung jawab yang jelas, setiap rupiah dana dicatat transparan.
Visinya jika dipercaya memimpin PSTI nasional sederhana tapi jelas, memperkuat pelatnas dengan sistem meritokrasi, menggandeng sponsor jangka panjang, dan memastikan kesejahteraan atlet sebagai prioritas.
“Sepak takraw bukan olahraga kecil. Ini warisan budaya yang bisa jadi kebanggaan bangsa,” ujarnya.
Baginya, olahraga Melayu itu bukan sekadar soal medali, tapi soal harga diri. Indonesia, negeri yang menjadi salah satu asal tradisi takraw, sudah seharusnya tak hanya menjadi penonton di arena dunia.
“Kalau anak-anak Riau bisa juara di Asia Tenggara, maka anak-anak Indonesia bisa juara dunia,” kata Rudianto penuh Keyakinan.
Suatu malam, selepas rapat di kantor PSTI Riau, Rudianto duduk di kursi plastik di pinggir lapangan. Lampu sorot memantulkan cahaya kuning pucat di bola rotan yang berputar di udara. Beberapa anak muda masih berlatih, tertawa ketika bola jatuh.
“Kalau nanti ada di antara mereka berdiri di podium dunia, itu sudah cukup bagi saya,” katanya pelan.
Ia tahu, mungkin tak semua pengorbanannya akan tercatat. Tapi di hatinya, sepak takraw bukan soal penghargaan pribadi, melainkan tentang menyalakan api yang lebih besar. Menarik menanti akankah Rudianto Manurung bisa naik level ke jenjang yang lebih tinggi?
(Ramdani Bur)