Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Spesialis Runner-Up: Mengapa Indonesia Sulit Menjadi Raja Olahraga ASEAN?

Opini , Jurnalis-Jum'at, 26 Desember 2025 |15:05 WIB
Spesialis Runner-Up: Mengapa Indonesia Sulit Menjadi Raja Olahraga ASEAN?
Fungky Roga penulis opini soal SEA Games 2025. (Foto: Istimewa)
A
A
A

Mengapa Indonesia Sulit Mengudeta Posisi Thailand Sebagai Raja Olahraga ASEAN

Opini SEA Games 2025

Asian Games menjadi cermin yang jujur. Indonesia mampu bersaing dan mengumpulkan medali, tetapi masih berjuang untuk melampaui batas psikologis sebagai “penantang terkuat” dan bertransformasi menjadi “penguasa kompetisi”.

Tanpa pembenahan sistemik mulai dari pembinaan usia dini, sport science, hingga tata kelola federasi peringkat kedua akan terus menjadi prestasi yang membanggakan sekaligus pengingat bahwa Indonesia masih berada satu langkah di belakang dominasi sejati. Fenomena Indonesia yang sering terjebak di posisi runner-up di bawah bayang-bayang Thailand (dan belakangan Vietnam di SEA Games) merupakan hasil dari kombinasi masalah struktural, manajemen, dan strategi.

Berikut adalah analisis mendalam mengapa Indonesia sulit mengudeta posisi Thailand sebagai raja olahraga ASEAN:

1. Ketimpangan Strategi: Cabor Internasional vs Cabor Tradisional

Salah satu alasan utama Thailand unggul di Asian Games dan Olimpiade adalah fokus mereka yang sangat tajam pada cabang olahraga (cabor) terukur yang dipertandingkan secara internasional, seperti atletik, tinju, dan angkat besi.

Sedangkan Indonesia, terlalu bergantung pada satu atau dua cabor "lumbung emas" (seperti bulu tangkis di Olimpiade atau pencak silat di SEA Games). Ketika cabor unggulan ini gagal, perolehan medali Indonesia langsung merosot tajam karena tidak ada pelapis dari cabor lain.

2. Ketimpangan Anggaran

Masalah utama Indonesia bukan sekadar minimnya dana, melainkan ketimpangan distribusi yang tidak berbasis pada prioritas prestasi. Hal ini menciptakan jurang lebar antara cabang olahraga "anak emas" dan cabang olahraga "anak tiri".

Anggaran sering kali tersedot habis ke cabang olahraga yang memiliki popularitas tinggi atau massa besar, namun minim prestasi di level dunia. Sebaliknya, cabang olahraga terukur seperti atletik, renang, dan senam yang memperebutkan ratusan medali emas di ajang internasional—justru sering kali harus "mengemis" anggaran untuk pemusatan latihan atau sekadar membeli peralatan standar kompetisi.

3. Penerapan Sport Science yang Tertinggal

Thailand dan Vietnam telah mengadopsi teknologi olahraga dan nutrisi atlet secara lebih masif dan terintegrasi hingga ke level junior.

- Di Thailand, analisis data performa atlet digunakan untuk menentukan program latihan yang sangat spesifik.

- Di Indonesia, penggunaan sport science mulai berkembang melalui DBON (De sain Besar Olahraga Nasional), namun implementasinya belum merata ke seluruh pengurus cabang olahraga (Pengcab) di daerah.

4. Manajemen Olahraga dan Birokrasi

Di Thailand, otoritas olahraga mereka (Sports Authority of Thailand) bekerja dengan rencana jangka panjang yang jarang terganggu oleh pergantian politik. Sedangkan di Indonesia, kepengurusan federasi olahraga terkadang masih diisi oleh tokoh politik atau figur yang tidak memiliki latar belakang teknis olahraga, sehingga kebijakan yang diambil sering kali bersifat jangka pendek (instan) demi target medali di depan mata, bukan pembangunan fondasi.

Status runner-up abadi bukanlah takdir, melainkan pilihan dari kebijakan yang setengah hati. Angka-angka di tabel medali Olimpiade dan Asian Games telah bicara: Thailand menang karena sistem, Indonesia tertahan karena seremonial.

Jika kita ingin meruntuhkan dominasi tetangga, kita harus berani memutus rantai birokrasi yang rumit dan mulai memperlakukan olahraga sebagai investasi harga diri bangsa, bukan sekadar pelengkap kalender tahunan. Indonesia adalah raksasa yang masih tertidur dalam zona nyaman posisi kedua.

Menjadi juara umum bukan soal jumlah penduduk, tapi soal presisi pembinaan. Tanpa perbaikan radikal pada struktur anggaran dan regenerasi atlet, posisi runner-up akan tetap menjadi kutukan yang menghantui wajah olahraga kita di mata dunia.

(Djanti Virantika)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita Sport lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement