Nama: Fungky Roga
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina
INDONESIA adalah negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah 17.000 pulau dan memilki jumlah penduduk 286 juta jiwa. Hal ini menjadikan negara Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.
Indonesia bagaikan raksasa yang sering kali terbangun hanya untuk menduduki podium kedua. Kita seolah terjebak dalam kutukan "hampir juara". Dari lintasan lari SEA Games hingga perhitungan medali di panggung Olimpiade level regional, bendera Merah Putih kerap berkibar di bawah bayang-bayang dominasi Thailand dan Vietnam.
Statistik satu dekade terakhir menunjukkan pola yang meresahkan, kita tangguh saat menjadi tuan rumah, namun limbung dan kehilangan taji saat bertamu. Runner-up memang bukan kegagalan total, namun bagi negara sebesar Indonesia, terus-menerus merayakan posisi kedua adalah tanda bahwa ada yang salah dengan cara kita mengelola mimpi.
Apakah kita memang kekurangan atlet berbakat, ataukah kita hanya terlalu nyaman dengan sistem pembinaan yang usang dan minim inovasi sports science? Saatnya kita bertanya secara jujur, sampai kapan kita puas hanya menjadi pendamping juara di rumah sendiri, Asia Tenggara?
Tabel Medali Olimpiade Sepanjang Masa di Kawasan Asia Tenggara
All Time Olyimpic Medal Table Southeast Asia’s Sporting Legacy (Facebook/SEA Heritage & History).
Olimpiade sebagai event olahraga tertinggi di dunia, dan Olimpiade bukan sekadar ajang olahraga. Ia adalah etalase kedaulatan dan kemajuan martabat sebuah bangsa di mata dunia.
Hal ini menjadi cerminan untuk melihat seberapa berkualitas olahraga sebuah negara. Ajang ini juga bisa menjadi evaluasi terhadap kemajuan olahraga yang ada di sebuah negara.
Di kawasan Asia Tenggara, sejarah mencatat persaingan sengit antara Thailand dan Indonesia sebagai dua kekuatan utama yang paling konsisten mendulang medali di level global. Sejarah mencatatkan bahwa sebuah persaingan elite yang menempatkan Thailand dan Indonesia sebagai dua negara kekuatan yang saling berkejaran di puncak klasemen sepanjang masa.
Setidaknya, di abad ini, Thailand memegang takhta sebagai pengumpul emas terbanyak (11 emas) di kawasan Asia Tenggara dengan strategi yang sangat fokus. Mereka tidak hanya bergantung pada satu cabang.
Melalui pembinaan masif di cabang angkat besi dan tinju, Thailand berhasil menciptakan sistem yang mampu mencetak juara secara bergantian. Keunggulan Thailand terletak pada efisiensi mereka dalam mengonversi peluang di cabang-cabang olahraga individu yang mengandalkan kekuatan fisik dan teknik tinggi.
Indonesia membuntuti di posisi kedua dengan selisih yang sangat tipis (10 emas). Selama lebih dari tiga dekade, narasi olahraga Indonesia adalah narasi bulu tangkis sebuah cabang yang memberikan "napas" emas bagi Ibu Pertiwi sejak 1992.
Namun, Indonesia kini sedang bertransformasi. Keberhasilan meraih emas di cabang panjat tebing dan angkat besi pada Olimpiade Paris 2024 adalah sinyal kuat bahwa Indonesia mulai keluar dari zona nyaman. Secara total medali, Indonesia sebenarnya memiliki jumlah perak yang lebih banyak (14 perak) dibandingkan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa potensi Indonesia untuk menyalip posisi puncak sangatlah besar.
Prestasi olahraga Indonesia di tingkat ASEAN sejatinya mencerminkan apa yang juga terjadi di panggung Olimpiade. Indonesia hampir selalu pulang dengan medali, terutama dari cabang-cabang tradisional seperti bulu tangkis dan angkat besi.
Namun, keberhasilan tersebut masih bersifat parsial dan individual, belum menjelma menjadi kekuatan olahraga nasional yang merata dan berkelanjutan. Fenomena ini sejajar dengan apa yang terjadi di kawasan ASEAN.
Indonesia mampu bersinar, tetapi belum mendominasi. Kita bisa juara di satu-dua cabang, namun tertinggal dalam klasemen keseluruhan. Olimpiade menjadi pengingat bahwa tanpa reformasi sistem pembinaan, prestasi hanya akan bersifat sporadis, bergantung pada generasi emas yang muncul sesekali, bukan hasil dari perencanaan jangka panjang.
Tabel Medali Asian Games Sepanjang Masa di Kawasan Asia Tenggara
Jika SEA Games adalah ajang persahabatan regional, Asian Games adalah medan pembuktian sesungguhnya untuk mengukur sejauh mana prestasi negara-negara Asia Tenggara mampu bersaing dengan raksasa dunia seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.
Di panggung megah ini, Thailand masih memegang takhta sebagai raja utama ASEAN. Lalu, disusul oleh Indonesia yang terus berusaha mengejar di posisi kedua.
Setidaknya hinggah saat ini, Thailand menjadi negara di kawasan Asia Tenggara dengan perolehan medali paling banyak dengan total perolehan medalu sebanyak 644 medali, masing-masing 144 medali emas, 189 medali perak dan 311 medali perunggu. Thailand mengukuhkan statusnya sebagai pemimpin kawasan dengan total raihan fantastis. Thailand membuktikan bahwa sistem pembinaan mereka sangat adaptif terhadap standar Asia. Mereka tidak hanya mengandalkan satu atau dua cabang unggulan, tetapi mampu mendulang medali dari tinju, angkat besi, atletik, hingga cabang olahraga permainan seperti sepak takraw yang menjadi lumbung emas abadi mereka.
Raksasa yang terus mengejar di posisi kedua, Indonesia berdiri dengan total 492 medali. Meski terpaut cukup jauh dari Thailand, raihan 98 medali emas Indonesia menunjukkan potensi besar yang dimiliki bangsa ini.
Indonesia secara historis sangat kuat di cabang olahraga bulu tangkis, pencak silat (terutama saat menjadi tuan rumah 2018), dan atletik. Koleksi 130 perak dan 264 perunggu mengindikasikan bahwa atlet-atlet Indonesia sebenarnya memiliki daya saing tinggi, namun sering kali masih kesulitan mengonversi peluang menjadi emas di babak final sebuah fenomena yang memperkuat narasi "Runner-Up" di level internasional.
Namun, pencapaian Indonesia yang mampu mengumpulkan hampir 500 medali di level Asia tetaplah sebuah prestasi yang membanggakan. Angka ini menempatkan Indonesia jauh di atas negara-negara tetangga lainnya, seperti Malaysia, Filipina, atau Vietnam dalam sejarah panjang Asian Games sejak 1951.
Peringkat kedua Indonesia dalam ajang Asian Games sering dipersepsikan sebagai capaian luar biasa. Di tengah persaingan negara-negara besar Asia seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, posisi tersebut menunjukkan bahwa olahraga Indonesia bukan sekadar pelengkap.
Bahkan, jika dilihat dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia tampil sebagai negara dengan perolehan medali terbanyak, mengungguli rival-rival regionalnya. Fakta ini menegaskan bahwa Indonesia sejatinya adalah kekuatan utama olahraga di kawasan.
Namun, di balik kebanggaan itu tersimpan paradoks yang layak direnungkan. Medali yang melimpah tidak selalu berbanding lurus dengan dominasi peringkat tertinggi. Indonesia kuat secara kuantitas, tetapi belum sepenuhnya superior dalam kualitas dominasi Asia.
Posisi kedua seolah menjadi simbol bahwa Indonesia sudah sangat dekat dengan puncak, tetapi masih belum mampu menegaskan diri sebagai kekuatan utama yang tak tergoyahkan. Dominasi Indonesia di Asia Tenggara juga menyiratkan tantangan lain.
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, keunggulan Indonesia seharusnya menjadi modal besar untuk melompat lebih jauh di level Asia. Sayangnya, keunggulan regional itu belum sepenuhnya dikonversi menjadi kepemimpinan absolut di tingkat benua. Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan utama bukan pada potensi atlet, melainkan pada strategi pengembangan prestasi jangka panjang.
Asian Games menjadi cermin yang jujur. Indonesia mampu bersaing dan mengumpulkan medali, tetapi masih berjuang untuk melampaui batas psikologis sebagai “penantang terkuat” dan bertransformasi menjadi “penguasa kompetisi”.
Tanpa pembenahan sistemik mulai dari pembinaan usia dini, sport science, hingga tata kelola federasi peringkat kedua akan terus menjadi prestasi yang membanggakan sekaligus pengingat bahwa Indonesia masih berada satu langkah di belakang dominasi sejati. Fenomena Indonesia yang sering terjebak di posisi runner-up di bawah bayang-bayang Thailand (dan belakangan Vietnam di SEA Games) merupakan hasil dari kombinasi masalah struktural, manajemen, dan strategi.
Berikut adalah analisis mendalam mengapa Indonesia sulit mengudeta posisi Thailand sebagai raja olahraga ASEAN:
Salah satu alasan utama Thailand unggul di Asian Games dan Olimpiade adalah fokus mereka yang sangat tajam pada cabang olahraga (cabor) terukur yang dipertandingkan secara internasional, seperti atletik, tinju, dan angkat besi.
Sedangkan Indonesia, terlalu bergantung pada satu atau dua cabor "lumbung emas" (seperti bulu tangkis di Olimpiade atau pencak silat di SEA Games). Ketika cabor unggulan ini gagal, perolehan medali Indonesia langsung merosot tajam karena tidak ada pelapis dari cabor lain.
Masalah utama Indonesia bukan sekadar minimnya dana, melainkan ketimpangan distribusi yang tidak berbasis pada prioritas prestasi. Hal ini menciptakan jurang lebar antara cabang olahraga "anak emas" dan cabang olahraga "anak tiri".
Anggaran sering kali tersedot habis ke cabang olahraga yang memiliki popularitas tinggi atau massa besar, namun minim prestasi di level dunia. Sebaliknya, cabang olahraga terukur seperti atletik, renang, dan senam yang memperebutkan ratusan medali emas di ajang internasional—justru sering kali harus "mengemis" anggaran untuk pemusatan latihan atau sekadar membeli peralatan standar kompetisi.
Thailand dan Vietnam telah mengadopsi teknologi olahraga dan nutrisi atlet secara lebih masif dan terintegrasi hingga ke level junior.
- Di Thailand, analisis data performa atlet digunakan untuk menentukan program latihan yang sangat spesifik.
- Di Indonesia, penggunaan sport science mulai berkembang melalui DBON (De sain Besar Olahraga Nasional), namun implementasinya belum merata ke seluruh pengurus cabang olahraga (Pengcab) di daerah.
Di Thailand, otoritas olahraga mereka (Sports Authority of Thailand) bekerja dengan rencana jangka panjang yang jarang terganggu oleh pergantian politik. Sedangkan di Indonesia, kepengurusan federasi olahraga terkadang masih diisi oleh tokoh politik atau figur yang tidak memiliki latar belakang teknis olahraga, sehingga kebijakan yang diambil sering kali bersifat jangka pendek (instan) demi target medali di depan mata, bukan pembangunan fondasi.
Status runner-up abadi bukanlah takdir, melainkan pilihan dari kebijakan yang setengah hati. Angka-angka di tabel medali Olimpiade dan Asian Games telah bicara: Thailand menang karena sistem, Indonesia tertahan karena seremonial.
Jika kita ingin meruntuhkan dominasi tetangga, kita harus berani memutus rantai birokrasi yang rumit dan mulai memperlakukan olahraga sebagai investasi harga diri bangsa, bukan sekadar pelengkap kalender tahunan. Indonesia adalah raksasa yang masih tertidur dalam zona nyaman posisi kedua.
Menjadi juara umum bukan soal jumlah penduduk, tapi soal presisi pembinaan. Tanpa perbaikan radikal pada struktur anggaran dan regenerasi atlet, posisi runner-up akan tetap menjadi kutukan yang menghantui wajah olahraga kita di mata dunia.
(Djanti Virantika)