Spesialis Runner-Up: Mengapa Indonesia Sulit Menjadi Raja Olahraga ASEAN?

Opini, Jurnalis
Jum'at 26 Desember 2025 15:05 WIB
Fungky Roga penulis opini soal SEA Games 2025. (Foto: Istimewa)
Share :

Nama: Fungky Roga

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina

INDONESIA adalah negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah 17.000 pulau dan memilki jumlah penduduk 286 juta jiwa. Hal ini menjadikan negara Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia.

Indonesia bagaikan raksasa yang sering kali terbangun hanya untuk menduduki podium kedua. Kita seolah terjebak dalam kutukan "hampir juara". Dari lintasan lari SEA Games hingga perhitungan medali di panggung Olimpiade level regional, bendera Merah Putih kerap berkibar di bawah bayang-bayang dominasi Thailand dan Vietnam.

Statistik satu dekade terakhir menunjukkan pola yang meresahkan, kita tangguh saat menjadi tuan rumah, namun limbung dan kehilangan taji saat bertamu. Runner-up memang bukan kegagalan total, namun bagi negara sebesar Indonesia, terus-menerus merayakan posisi kedua adalah tanda bahwa ada yang salah dengan cara kita mengelola mimpi.

Apakah kita memang kekurangan atlet berbakat, ataukah kita hanya terlalu nyaman dengan sistem pembinaan yang usang dan minim inovasi sports science? Saatnya kita bertanya secara jujur, sampai kapan kita puas hanya menjadi pendamping juara di rumah sendiri, Asia Tenggara?

Tabel Medali Olimpiade Sepanjang Masa di Kawasan Asia Tenggara

All Time Olyimpic Medal Table Southeast Asia’s Sporting Legacy (Facebook/SEA Heritage & History).

Olimpiade sebagai event olahraga tertinggi di dunia, dan Olimpiade bukan sekadar ajang olahraga. Ia adalah etalase kedaulatan dan kemajuan martabat sebuah bangsa di mata dunia.

Hal ini menjadi cerminan untuk melihat seberapa berkualitas olahraga sebuah negara. Ajang ini juga bisa menjadi evaluasi terhadap kemajuan olahraga yang ada di sebuah negara.

Di kawasan Asia Tenggara, sejarah mencatat persaingan sengit antara Thailand dan Indonesia sebagai dua kekuatan utama yang paling konsisten mendulang medali di level global. Sejarah mencatatkan bahwa sebuah persaingan elite yang menempatkan Thailand dan Indonesia sebagai dua negara kekuatan yang saling berkejaran di puncak klasemen sepanjang masa.

Setidaknya, di abad ini, Thailand memegang takhta sebagai pengumpul emas terbanyak (11 emas) di kawasan Asia Tenggara dengan strategi yang sangat fokus. Mereka tidak hanya bergantung pada satu cabang.

Melalui pembinaan masif di cabang angkat besi dan tinju, Thailand berhasil menciptakan sistem yang mampu mencetak juara secara bergantian. Keunggulan Thailand terletak pada efisiensi mereka dalam mengonversi peluang di cabang-cabang olahraga individu yang mengandalkan kekuatan fisik dan teknik tinggi.

Indonesia membuntuti di posisi kedua dengan selisih yang sangat tipis (10 emas). Selama lebih dari tiga dekade, narasi olahraga Indonesia adalah narasi bulu tangkis sebuah cabang yang memberikan "napas" emas bagi Ibu Pertiwi sejak 1992.

Namun, Indonesia kini sedang bertransformasi. Keberhasilan meraih emas di cabang panjat tebing dan angkat besi pada Olimpiade Paris 2024 adalah sinyal kuat bahwa Indonesia mulai keluar dari zona nyaman. Secara total medali, Indonesia sebenarnya memiliki jumlah perak yang lebih banyak (14 perak) dibandingkan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa potensi Indonesia untuk menyalip posisi puncak sangatlah besar.

Prestasi olahraga Indonesia di tingkat ASEAN sejatinya mencerminkan apa yang juga terjadi di panggung Olimpiade. Indonesia hampir selalu pulang dengan medali, terutama dari cabang-cabang tradisional seperti bulu tangkis dan angkat besi.

Namun, keberhasilan tersebut masih bersifat parsial dan individual, belum menjelma menjadi kekuatan olahraga nasional yang merata dan berkelanjutan. Fenomena ini sejajar dengan apa yang terjadi di kawasan ASEAN.

Indonesia mampu bersinar, tetapi belum mendominasi. Kita bisa juara di satu-dua cabang, namun tertinggal dalam klasemen keseluruhan. Olimpiade menjadi pengingat bahwa tanpa reformasi sistem pembinaan, prestasi hanya akan bersifat sporadis, bergantung pada generasi emas yang muncul sesekali, bukan hasil dari perencanaan jangka panjang.

 

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Sports lainnya