JAKARTA – Pebulu tangkis tunggal putra Indonesia, Sony Dwi Kuncoro, turut memberi tanggapan terkait keputusan pensiunnya Tontowi Ahmad. Ia melontarkan kritik kepada Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PBSI) karena dinilai kurang menghargai atlet dalam menerapkan proses degradasi.
Tontowi memang diketahui telah memutuskan untuk pensiun dari dunia bulu tangkis pada Senin 18 Mei 2020. Dalam keterangan yang disampaikan Tontowi lewat konferensi pers secara virtual, ia menyampaikan bahwa status pemain magang yang disandangnya di pelatnas PBSI sejak Desember 2019 menjadi salah satu pertimbangan untuk pensiun.
Tontowi keberatan dengan status tersebut karena merasa dirinya masih kompetitif. Mendapati hal tersebut, Sony pun turut angkat bicara. Ia menilai ada kejanggalan pada langkah PBSI dalam menerapkan sistem degradasi.
BACA JUGA: PBSI Beri Penjelasan soal Status Pemain Magang Tontowi Ahmad
Sony sendiri turut merasakan hal tersebut pada 2014. Kala itu, peraih medali perunggu Olimpiade 2004 itu didegradasi dari pelatnas tanpa ada pemberitahuan langsung dari pihak pengurus PBSI. Hal ini dianggap kurang menghargai karena Sony sendiri diketahui telah menorehkan prestasi yang begitu gemilang di dunia bulu tangkis.
“Menanggapi berita Tontowi Ahmad ini saya juga ingin ikut berkomentar. Hampir setiap atlet yang keluar dari PBSI akan merasakan kejanggalan dalam proses degradasi. Tahun 2014 saya meninggalkan pelatnas PBSI dengan cara yang menurut saya kurang menghargai saya yang sudah 13 tahun di Pelatnas. Pada waktu itu masih rangking 15 dunia,” ujar Sony, sebagaimana dikutip dari akun Instagram pribadinya, @sonydwikuncoro, Jumat (22/5/2020).
“Bagaimana tidak? Pertama kali saya tahu berita tentang degradasi melalui koran. Beberapa hari saya tunggu tidak ada pembicaraan dari pengurus, akhirnya saya menanyakan surat keluar agar saya mendapat kepastian. Surat keluar saya dapat, itu pun surat tersebut diberikan oleh karyawan (bukan pengurus),” lanjutnya.
Sony pun akhirnya memberi saran kepada pihak PBSI agar bisa lebih menghargai atlet, terlebih dalam sistem degradasi. Sebab, setiap atlet perlu melewati perjuangan besar untuk bisa mencapai karier yang didambakan.
“Masukkan dari saya mohon cara degradasi atlet lebih menghargai atlet. Karena atlet mulai kecil mereka memilih menjalani hidup di badminton, meninggalkan sekolah, keluarga, dan kesempatan bermainnya. Atlet juga punya keluarga, orangtua yang setiap hari mendoakan anaknya untuk jadi juara,” tutur Sony.
“Sebagai saran lagi untuk PBSI dalam mendegradasi atlet Pelatnas, apa pun prestasinya selama dia membawa nama Indonesia di dadanya, sebaiknya PBSI memberi penghargaan apa pun bentuknya (piagam atau sertifikat) yang akan berguna dan menjadi kebanggaan untuk masa depan atlet. Saya tidak melihat atlet yang banyak juara/prestasi tapi masih ada atlet lapis 2 dan yang lain dan setidaknya para mantan atlet ini akan bangga pernah membela pelatnas (nama Indonesia),” lanjutnya.
Langkah yang dilakukan Sony dalam mengkritik PBSI diketahui bukan yang pertama kalinya dilakukan pebulu tangkis Indonesia. Sebelumnya, salah satu tunggal putra terbaik Indonesia, Taufik Hidayat, juga menyampaikan kritik kepada PBSI di akun Youtube Deddy Corbuzier dalam sebuah perbincangan.
(Ramdani Bur)