DALAM sejarah bulu tangkis Indonesia, nama Susy Susanti menempati kasta tertinggi sebagai legenda tunggal putri terbaik sepanjang masa. Pencapaiannya yang paling monumental tentu saja keberhasilannya mempersembahkan medali emas pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade Barcelona 1992.
Namun, di balik lemari trofinya yang penuh dengan gelar bergengsi dunia, terdapat satu fakta unik yang jarang disadari, Susy tidak pernah mencicipi podium tertinggi di pesta olahraga terbesar se-Asia, Asian Games.
Lahir di Tasikmalaya pada 11 Februari 1971, perjalanan besar Susy dimulai dari PB Tunas Tasikmalaya sebelum akhirnya hijrah ke Jakarta untuk bergabung dengan PB Jaya Raya. Di bawah tempaan dingin pelatih Liang Chiu Sia, karakter permainan reli panjang yang melelahkan serta teknik "smash" tajam Susy mulai terbentuk, menjadikannya momok bagi lawan-lawan tangguh di panggung internasional.
Puncak kejayaan Susy terjadi pada tahun 1992, ketika ia mengukir sejarah di Barcelona. Setelah menyingkirkan wakil China, Huang Hua, Susy menghadapi Bang Soo-hyun dari Korea Selatan di partai final yang dramatis.
Meski sempat kalah di set pertama, Susy bangkit dan menang dengan skor 5-11, 11-5 dan 11-3. Kemenangan ini tidak hanya memberikan emas bagi dirinya, tetapi juga menyatukan kebahagiaan dengan sang suami, Alan Budikusuma, yang turut meraih emas di nomor tunggal putra.
Karier istri Alan Budikusuma ini semakin mentereng dengan koleksi lima gelar Indonesia Open, lima gelar World Grand Prix Finals, serta empat mahkota All England. Tak hanya di nomor individu, Susy juga menunjukkan jiwa kepemimpinannya sebagai kapten tim saat membawa Indonesia mematahkan dominasi China untuk menjuarai Piala Uber pada edisi 1994 dan 1996.
Atas dedikasi luar biasanya, BWF secara resmi memasukkannya ke dalam Hall of Fame pada tahun 2004.