"Iya saya ambil S1 itu 2014, karena waktu itu enggak lolos ke pelatnas, jadi langsung ambil kuliah. Kenapa memilih pendidikan geografi? Karena waktu itu jurusan ini kuliahnya yang paling simpel. Dalam arti waktu itu ada kelas jauhnya. Waktu itu kan kuliahnya di Bandung. Tapi ada kelas jauhnya juga, jadi simpel gitu loh," terang Fajar.
Namun, rintangan muncul. Pada pertengahan 2014, tanpa diduga Fajar malah mendapatkan panggilan dari Pelatnas PBSI untuk menjalani magang. Padahal saat itu, dia hanya berniat fokus di bidang akademik.
Itu berarti, Fajar harus bisa menyeimbangkan pendidikan dengan bulu tangkis. Apalagi, bila sudah berada di Pelatnas PBSI, Fajar tidak bisa main-main. Pikiran untuk meninggalkan kuliah mulai muncul.
"Waktu itu kuliahnya banyak dispensasi. Jadi banyak keringanan yang diberikan dari universitas. Ya setelah masuk pelatnas sih sebenarnya kuliah itu pengen keluar gitu. Karena kuliahnya diharuskan untuk masuk gitu kan. Tapi karena sudah di sini berarti harus ada salah satu yang dikorbankan," kata Fajar.
"Saya tadinya mau korbankan pendidikan. Tapi pas ngobrol-ngobrol lagi dengan pihak kampus, akhirnya mereka memberikan kelonggaran. Memberikan kelonggaran maksudnya ya harus mengerjakan tugas gitu-gitu," imbuhnya.
Lalu, setelah dunia kuliah terus berlanjut, tantangan Fajar berikutnya adalah soal skripsi. Untuk mendapatkan gelar S.Pd, Fajar harus berpikir keras hingga meminta bantuan sang kakak, yang juga bekerja sebagai seorang dosen.