MANTAN pevoli putri Tanah Air, Aprilia Manganang, telah dikonfirmasi sebagai laki-laki sejati oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Andika Perkasa, dalam konferensi pers di Markas Besar TNI AD, Jakarta, Selasa 9 Maret 2021.
Ketika aktif bermain sebagai pevoli di kategori putri, Aprilia tampak berbeda dengan tubuh yang lebih kekar, seperti laki-laki tulen. Meski begitu, dia tetap dinyatakan sebagai perempuan pada waktu itu.
Penyebab kekeliruan itu adalah Aprilia mengidap Hipospadia sejak lahir. Hipospadia merupakan kondisi langka ketika lubang pipis penis tidak berada di ujung, tetapi bawah. Kebanyakan kelainan ini tidaklah parah. Akan tetapi, kasus Aprilia termasuk dalam kategori 10 persen yang serius sehingga butuh penanganan khusus pula.
Patut disayangkan, Aprilia tidak bisa menangani kelainannya dengan maksimal karena ketidakpahaman dan ekonomi keluarga yang kurang mampu pada waktu itu. Alhasil, Aprilia pun dianggap sebagai perempuan berdasarkan ciri-ciri fisik sewaktu lahir.
BACA JUGA: 5 Fakta Menpora Respons Aprilia Manganang yang Ternyata Laki-Laki Tulen
Jika Aprilia dikonfirmasi sebagai laki-laki setelah sebelumnya dinyatakan perempuan karena Hipospadia, hal berbeda dialami atlet lari asal Afrika Selatan (Afsel), Caster Semenya. Semenya adalah perempuan dengan perbedaan perkembangan seks (DSD) sehingga hormon testosteronnya lebih dari kadar normal wanita pada umumnya.
BACA JUGA: Sebelum Terjun ke Voli, Aprilia Manganang Dalami Cabor Atletik
Hal itu awalnya tidak mengganggu karier Semenya di dunia atletik. Dia pun memiliki karier gemilang di nomor 800 meter dengan meraih dua medali emas Olimpiade (2012 dan 2016), tiga medali emas kejuaraan dunia atletik (2009, 2011, dan 2017), dan prestasi lainnya.
Namun, peruntungan Semenya berubah pada Mei 2019 ketika Federasi Atletik Internasinal (IAAF) mengeluarkan kebijakan baru tentang kadar testosteron untuk pengidap DSD menjadi kurang dari 5 nanomol/liter jika ingin berkompetisi dalam nomor elit antara 400m hingga 1500m.
Kebijakan baru itu berdasarkan asas keadilan karena lebih dari 99% wanita memiliki sekitar 0,12-1,79 nanomol/liter testosteron dalam tubuh mereka. Sementara itu, pengidap DSD memiliki kadar testosteron 7,7-29,4 nanomol/liter.
Kebijakan baru itu sangat berpengaruh pada karier atletik Semenya karena dia tidak bisa berlaga di nomor andalannya, 800 meter. Dia sudah mengajukan banding terkait kebijakan tersebut ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) pada 2019 dan Pengadilan Federal Swiss tahun lalu, tetapi berakhir dengan kegagalan.
Namun, Semenya tidak menyerah untuk memperjuangan kariernya. Dia pun mengajukan banding ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa pada tahun ini. Semenya berharap banding ketiganya berakhir manis karena dia ingin mempertahankan medali emas di Olimpiade 2020 Tokyo yang berlangsung pada 23 Juli-8 Agustus 2021.
"Saya berharap pengadilan Eropa akan mengakhiri pelanggaran HAM yang telah berlangsung lama oleh Atletik Dunia [IAAF] terhadap atlet wanita. Kami hanya minta diizinkan untuk berlari, sebagai wanita yang kuat dan tak kenal takut seperti sebelumnya," kata Semenya di media sosial, melansir dari The Guardian, Kamis (11/3/2021).
(Mochamad Rezhatama Herdanu)