"Sebenarnya ada rasa minder waktu itu, pas saya mau mencari poin. Jadi pas pemilihan turnamen, saya itu ada ngerasa minder juga. Maksudnya teman-teman seangkatan saya dan yang lain rankingnya sudah bisa main di International Series, main International Challenge, nah saya harus Future Series," ucapnya.
"Ranking saya saat itu 600-an gara-gara enggak ada turnamen pas pandemi. Ditambah turnamen sebelum Covid, hasil saya juga kurang bagus. Itu yang bikin saya mau enggak mau harus lebih ekstra dari teman-teman yang lain. Jadi namanya ngejar, kalau usahanya sama, kan enggak akan kekejar. Usahanya harus lebih ekstra," sambungnya.
Syabda pun merasakan bahwa perjuangannya merangkak dari bawah sangatlah berat. Apalagi setelah berlelah-lelah, poin yang didapatkan dari bermain di turnamen level bawah tidak terlalu banyak.
"Memang berat. Waktu itu main di Eropa buat nyari poin kan bisanya cuma di kelas Future Series. Sehari main tiga kali dengan lawan yang enggak jelek juga. Rasanya capek, tapi dapat poinnya enggak seberapa," tutur Syabda.
Beruntung, kekasih dari Pitha Haningtyas Mentari itu sudah mulai membiasakan diri. Secara bertahap, Syabda akhirnya bisa naik level dengan menjuarai International Series di Malaysia pada. Lalu naik level ke International Challenge dengan juara di Iran Fajr International 2023.
"Tapi mulai ke sini, ketika saya mulai bisa juara International Series dan International Challenge, nah dari situ saya mikir 'oh ternyata harus kayak gini' jalan orang kan beda-beda gitu. Saya mikirnya saya lebih punya pengalaman dari bawah, dari Future Series, International Series, dan ke International Challenge, pastinya jadi lebih tough," tegasnya.