"Awalnya masih TK. Di sana kami dikasih pendidikan formal dan ekskulnya ya. Jadi ada banyak ada olahraga seni," katanya sembari mengingat.
Margaretha mengaku sempat mencoba sejumlah ekskul seperti paduan suara dan olahraga lempar lembing, namun ia merasa tidak pernah ada perkembangan. Pada akhirnya Margaretha memilih cabor catur dan merasa nyaman di tempat itu.
"Karena catur itu belajarnya melatih berpikir 3-5 langkah ke depan, strategi dan berhitung. Membantu juga saat di sekolah matematikanya terbantu karena di catur itu, mainnya menghitung ya," ujarnya.
BACA JUGA:
Selain itu, catur dianggapnya sebagai olahraga yang paling mudah untuk Margaretha dilakukan.
“Kalau catur itu latihannya gak ribet. Gak harus kelapangan lapangannya kan harus dibawa karena papan catur. Kalau gak main pakai papan juga bisa namanya blind chess, jadi namanya catur turna netra, kita bisa main tanpa memegang bidak caturnya. Jadi udah kebayang kotak 64 itu," jelas dia.
Mantap di catur bukan berarti Margaretha tidak menemui jalan terjal dalam kariernya. Meski telah didampingi oleh pelatih, dia mengaku harus berusaha dua kali lipat demi mencapai level tertinggi.
"Pasti kami tidak bisa seperti teman-teman yang pengelihatannya sempurna. Buku juga kami gak bisa baca. Jadi kami minta bantuan dulu untuk dibacakan kesulitannya di situ. Untuk bisa sama dengan teman yang normal kami harus belajar dua kali lipat. Berarti kalau mau melebihi belajar nya harus lebih dari itu," katanya.