“Motor kami masih bagus pada 2016. Kami masih belum kehilangan dasar pengembangan ketika perangkat lunak itu datang. Dari titik itu, kami justru kehilangan peta jalan sementara kompetitor mengambil keuntungan dengan melalui jalan yang benar,” ujar Lin Jarvis, seperti dikabarkan Speedweek, Kamis (16/1/2020).
“Secara pribadi, saya menduga penurunan terjadi karena kami terlalu menganggap remeh pentingnya memahami perangkat lunak serta mencari solusi yang berbeda. Sepertinya kami terlalu sibuk karena perangkat lunak kami berada di level yang sangat tinggi,” sambung pria berkebangsaan Inggris itu.
Kesalahan itu ternyata berakibat fatal buat Monster Energy Yamaha. Sejak 2016, mereka bukan lagi pabrikan motor terbaik setelah menjadi juara dunia pada MotoGP 2015. Tim yang berbasis di Lesmo itu bahkan harus tergusur oleh Ducati.
(Mochamad Rezhatama Herdanu)