KISAH mantan raja bulu tangkis dunia Kento Momota menarik untuk diulas. Siapa sangka, ia pernah dipoles oleh pelatih tunggal putri Pelatnas PBSI!
Momota merupakan salah satu tunggal putra terbaik di dunia pada akhir dekade 2010-an hingga awal 2020. Pria berpaspor Jepang itu sangat ditakuti lawan sebelum mencuatnya nama Viktor Axelsen.
Deretan prestasi dicatatkan Momota. Pria yang kini berusia 30 tahun itu pernah dua kali juara dunia secara beruntun pada 2018 dan 2019. Ia juga sekali mengantarkan Jepang juara Piala Thomas 2014.
Kehebatannya mulai dikenal saat sukses juara dunia junior 2012. Perlahan, Momota mampu mencapai puncak dunia berkat kerja keras dan bakatnya yang memang luar biasa.
Di BWF World Tour misalnya, Momota sukses 16 kali juara. Masa keemasannya terjadi pada 2019 dengan merebut 11 gelar juara di berbagai level termasuk All England hingga China Open.
Imam, yang melatih di Jepang pada 2002-2013, dengan jeli melihat bakat Momota di klub Tomioka. Ketika itu, sang pemain punya reputasi bagus dengan menjadi juara nasional pada 2007 untuk anak-anak SD.
Kiprahnya berlanjut di usia sekolah menengah. Momota masuk ke SMP Tomioka Daiichi yang terkenal dengan program bulu tangkisnya berkat modal juara di level nasional saat SD.
Singkat cerita, Momota lagi-lagi juara nasional di kategori SMP pada 2009. Ia lalu masuk SMA Tomioka Daiichi dan bertemu Imam Tohari! Polesannya kemudian mampu mengantar sang pemain juara Asia dan dunia di level junior pada 2012.
Sayangnya, karier Momota kini menurun. Semua berawal dari kecelakaan yang menimpanya usai tampil di Malaysia Masters 2020. Karier pemain kidal itu tidak pernah benar-benar bangkit lagi.
Sementara, Imam kemudian kembali ke Indonesia pada 2013 untuk menangani tunggal putra di Pelatnas PBSI. Ia sempat keluar dan menjadi pelatih di klub PB Djarum pada 2016, sebelum kembali lagi ke Cipayung untuk menjadi pelatih tunggal putri pada 2025.
Itulah kisah mantan raja bulu tangkis dunia Kento Momota yang pernah dilatih tunggal putri Pelatnas PBSI. Sangat disayangkan kariernya harus menjadi seperti ini.
(Wikanto Arungbudoyo)