SOSOK Jonatan Christie sudah tak asing lagi di dunia bulu tangkis. Sejak usia 17 tahun, Jonatan bisa dibilang sudah tampil menjadi bintang bulu tangkis dan menjalani kehidupan karier yang lika-liku.
Prestasi dan performa yang naik turun seringkali dirasakan Jonatan. Mulai dari juara Asian Games 2018 hingga terakhir memenangkan titel All England 2024, pemain berusia 26 tahun itu merasakan perjalanan yang tidak mudah.
Sejak junior, Jojo -sapaan akrab Jonatan- pun sudah mendapat banyak tuntutan untuk bisa membawa nama baik tunggal putra Indonesia di kancah dunia. Bahkan, pilihan kata menyerah sempat ia rasakan ketika prestasinya sempat menurun di beberapa tahun ke belakang.
Bagaimana cerita Jonatan melewati masa-masa sulit hingga masih bertahan di tahap ini? Dalam wawancara eksklusif bersama MNC Portal Indonesia, Jonatan pun menceritakan hal ini. Berikut hasil wawancara bersama Jojo -sapaan akrab Jonatan.
Jo, pelatih Irwansyah sering menyampaikan bahwa proses latihan tunggal putra itu intensitasnya sangat tinggi. Tapi ketika melihat hasil, hasilnya kan terkadang tidak sesuai harapan. Apa yang Jojo rasakan ketika latihan sudah sangat berat tapi hasilnya terkadang berbanding terbalik?
Ya, memang enggak mudah kalau kita hanya melihat dari hasil. Kalau kita melihat dari proses latihan semuanya, lalu ada rapornya, kita bisa bilang mungkin kita bisa dapat nilai A atau A+, terutama secara konsistensi di latihan. Karena Bang Aboy -sapaan akrab pelatih Irwansyah- sendiri juga mem-push kita semaksimal mungkin untuk latihan, mengeluarkan yang terbaik dari yang kita miliki.
Jadi, ya kalau di latihan itu bisa dibilang rapornya tuh A, mungkin bisa jadi A+ karena segitu kita effort-nya. Tapi kan ya mungkin hal yang sama dilakukan dengan pemain-pemain lain juga gitu. Nah, jadi ya memang balik lagi sih momen itu kita enggak pernah tahu kapan datangnya. Tapi ya memang yang paling berat adalah waktu kita menunggu. Waktu menunggu itu yang paling berat banget dan enggak mudah untuk bersyukur ketika itu.
Mungkin (Anthony Sinisuka) Ginting sempet mention tahun lalu, ketika sudah latihan keras, sudah latihan yang bisa dibilang sangat maksimal, tapi kok hasilnya bertolak belakang? Tapi ya justru fighting-nya di situ. Bukan kayak menang kalah dan segala macem. Ketika momen itu datang, itulah fighting kita sebenarnya diuji.
Ketika kita berkali-kali jatuh, berkali-kali kita bangkit, berkali-kali kita jatuh, pasti akan ada momen antara dua pilihan yaitu menyerah atau ya bangkit lagi. Selalu seperti itu. Nah, itu yang memang enggak gampang. Itu juga berlaku ke saya, dan itu saya rasa cukup berpengaruh dalam kehidupan kita sebagai atlet. Jadi memang manage pikiran, manage motivasi, manage ekspektasi itu yang sangat penting.
Tapi Jojo pernah ada pemikiran untuk menyerah ketika dihadapkan pada situasi dua pilihan itu?
Saya rasa setiap atlet akan punya masa-masa berat seperti itu ya. Saya juga maksudnya bukan sekarang saja, bahkan dari beberapa tahun lalu. Sudah dari 2017 juga ada masanya gitu. Kayak kehidupan itu seperti roda berputar saja gitu.
Kadang kalau sudah di bawah ya mau naik lagi itu kan emang enggak gampang. Tapi ya pasti ada momen itu harus kita lewati. Ya kita enggak bisa menyangkal bahwa ingin stop, ingin udahan, itu pasti ada, pasti ada gitu. Cuma balik lagi gimana cara kita menyikapi kondisi saat itu.
Ketika dihadapkan dengan dua pilihan antara menyerah atau bangkit, kamu menyikapi dan menerima proses itu seperti apa?
Ya, yang tadi saya bilang lagi, enggak gampang. Enggak tahu ya orang di luar kalau melihat proses saya gimana. Tapi kalau mereka ngikutin perjalanan karier saya dari benar-benar saya yang gagal, saya yang berhasil, nanti berhasil, nanti gagal lagi, nanti berhasil, nanti bisa terjun payung lagi, tapi nanti bisa bangkit lagi, saya rasa mereka akan jauh lebih mengerti tentang arti proses. Proses yang saya alami memang enggak mudah gitu.
Apa yang saya ceritakan sekarang, mungkin orang yang membaca ini akan melihat ‘oh kayak biasa saja gitu loh.’ Tapi mereka yang memang tahu atau mengikuti perjalanan saya, itu mungkin mereka bisa mendapatkan feel yang lebih berbeda dibanding orang yang hanya mendengar atau melihat dari apa yang terjadi belakangan ini.
Jadi ya memang enggak mudah. Proses untuk memutuskan itu yang sangat penting. Itu adalah momen-momen kalau saya bilang momen krusial. Di mana kita akan berkata ‘lu mau nyerah atau lu mau bangkit lagi’ gitu.
Jojo pernah merasakan momen krusial itu ketika ada di titik mana?
Titiknya adalah ketika momen kita sudah berusaha, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan pengharapan atau tidak sejalan dengan apa yang kita perjuangkan. Titiknya adalah ketika kita masih bisa bersyukur dengan hasil yang tanda kutip kurang baik, tapi bisa bangkit lagi. Untuk bisa menemukan titik balik itu yang saya rasa enggak gampang untuk dilewati.
Sejak junior, Jojo sudah mendapat banyak sorotan. Bahkan saat itu menerima tongkat estafet dari Taufik Hidayat di acara pensiunnya. Artinya kan ada ekspektasi tinggi buat Jojo. Bagaimana Jojo menyikapi itu? Ditambah tunggal putra Pelatnas saat itu sempat kehilangan sosok ‘senior’.
Pertama kalau yang tongkat estafet dari Taufik, jujur saya itu kan baru masuk banget (pelatnas) ya. Saya juga bingung kenapa saya yang dipilih? Maksudnya ya masih banyak kakak-kakak senior yang di tengah-tengah itu, kayak contohnya mas Vito -sapaan akrab Shesar Hiren Rhustavito, Riyanto Subagja, Panji Akbar, Arief Gifar, Wisnu Yuli Prasetyo. Maksudnya masih banyak senior saya. Kalau enggak salah, saya datang di pelatnas, saya anak yang paling kecil. Kalau enggak salah umurnya tuh paling muda dibanding yang lain. Ya jujur agak enggak expect saja sih.
Tapi kalau dibilang beban, saya sih waktu itu enggak ngerasain ya. Cuma mungkin ketika pas mulai generasi tunggal putra putus, terus saya Ginting dan Ihsan (Maulana Mustofa) harus di-push untuk segera ngejar negara-negara lain, ya jujur itu berat sih. Tapi plusnya kita dapat jam terbang lebih banyak. Kita diberikan kesempatan lebih banyak, kita diberikan kepercayaan diri juga lebih banyak, which is itu sangat-sangat bagus. Mungkin itu yang saat ini tidak dimiliki oleh adik-adik junior yang zaman sekarang. Itu satu hal yang positif.
Cuma ya mungkin itu hal yang memberatkan. Karena ‘ya lu mau enggak mau harus dituntut untuk segera naik level’ entah dari permainan, entah itu dari hasil. Padahal waktu itu masih ada Lin Dan, masih ada Lee Chong Wei, Chen Long, Kento Momota, Viktor Axelsen juga. Jadi memang masih bener-bener banyak banget. Ya mau enggak mau harus di-push. Ya mungkin itu aja sih yang memberatkan untuk kita. Karena masih muda ya waktu itu. Sisanya sih menurut saya banyak hal positif juga.
Ketika dituntut naik level pada usia 18 atau 19 tahun itu, kamu pernah ada di situasi untuk pertama kalinya bertemu para pemain top seperti Lin Dan, Lee Chong Wei, Chen Long, dll. Apa yang Jojo rasain waktu itu? Nervous atau justru menjadi acuan tersendiri?
Ini kalau saya ya, enggak tahu yang lain, saya inget banget momen ini pertama kali terjadi ketika main dan dipercaya di Sudirman Cup tahun 2015. Pokoknya waktu itu main di China, trus di sana kan banyak tuh court-nya. Saya inget ketika itu Indonesia lawan Taipei (di perempatfinal), terus lapangan sebelahnya China (ada Lin Dan) lawan Jerman, terus di sebelahnya lagi Malaysia (ada Lee Chong Wei) lawan Korea Selatan, lalu Denmark (ada Viktor Axelsen) lawan Jepang (ada Kento Momota).
Terus saya bener-bener merasa di samping saya pemain-pemain top dunia semua. Ya namanya Sudirman Cup, maksudnya semua dunia pasti nonton dan tunggal putra kan yang diturunkan juga satu, nah itu yang cukup nervous. Tapi juga cukup bangga kayak ‘wih sekarang gue sudah main nih, satu hall bareng loh sama mereka-mereka yang pemain top ini, jadi gue udah ada lingkungan ini.’
Ya satu sisi ini adalah hal yang wow banget. Tapi satu sisi juga nervous kayak yang court sana kan mainnya udah kelasnya beda gitu, sementara saya mainnya masih yang salah-salah saja misalnya, kayak belum sematang mereka. Jadinya kayak ada bangga, tapi ada kayak minder juga gitu. Ada perasaan juga ‘kenapa harus gue duluan gitu?’ Ya ada juga kayak gitu. Tapi ya mau enggak mau kan, karena balik lagi, saya udah diberikan kesempatan jadi ya mau enggak mau kita harus improve lebih cepat gitu.
Bicara soal kehilangan sosok ‘senior’, tunggal putri pernah mengalami itu dan dirasakan oleh Gregoria Mariska Tunjung yang pernah sempat down tapi bangkit lagi. Kalau Jojo sendiri seperti apa ketika kehilangan senior dan langsung dituntut prestasi tinggi?
Pasti berat sih, maksudnya apa yang Grego sekarang saat ini atau kemarin-kemarin dia rasain, ya saya juga sudah pernah rasain itu gitu. Cuma mungkin saya lebih ringan kali ya karena bebannya kan bukan hanya di saya, karena waktu itu kita bertiga kan, saya, Ginting, sama Ihsan. Tapi, ya itu pun ada plus minus juga. Ketika bertiga ya mungkin bebannya lebih ringan, tapi pasti aja ada yang membanding-bandingkan, ada yang membeda-bedakan. Padahal kita satu tim gitu kan, itu yang enggak enaknya gitu.
Cuma ya yang enaknya adalah kita tanggung itu bareng-bareng, kita tanggung itu bersama. Jadi enggak yang sendiri kayak Grego sekarang sendiri kan. Tapi balik lagi, mungkin ini out of topic, kalau ngeliat Grego yang sekarang saya rasa mungkin dia sudah bisa lebih enjoy, sudah lebih bisa menikmati gitu, sudah lebih bisa kayak dalam tanda kutip ‘ya bodo amat dengan apa kata orang di luar, dan ya sudah gue do the best saja, apa yang gue punya gitu.’ Nah memang yang penting tuh itu gitu.
Balik lagi kan kita ngomongnya adalah bagaimana cara berpikir, cara me-manage ekspektasi, cara me-manage porsi lu tuh sampai mana gitu. Itunya sebenarnya yang penting.
Ada momen juga di mana Jojo mendapat banyak kritikan dari netizen setelah Asian Games 2018 atau ketika performa sedang turun. Bagaimana Jojo menanggapi hujan kritikan tersebut?
Kritikan itu saya rasa satu hal yang it's oke ya karena mereka kan berarti berekspektasinya lebih ya ke kita. Ya wajarlah gitu kayak sama saja saya kalau nonton bola misalnya klub favorit saya pasti pengen dia menang gitu kan. Cuma mungkin kalau saya jadi seperti itu saya enggak terlalu yang ketika dia kalah ‘oh ini ganti si ini oh ini jelek di sini ya’ karena saya enggak expert di situ gitu. Jadi saya enggak ada hak juga untuk bersuara akan hal itu gitu. Kalau saya seperti itu.
Ya mungkin kalau mereka ingin menyuarakan ya it's oke. Ada juga sih sebenarnya kan mereka care, berarti mereka peduli juga sama kita, ya tinggal balik lagi gimana kita menyuarakan, kita menyikapinya aja. Yang baik kita ambil, kalau yang menurut kita kayaknya terlalu berlebihan atau kayaknya out of context ya sudah enggak usah diambil. Lebih ke sana aja sih.
Bagaimana cara Jojo sendiri bertahan dengan ekspektasi besar sejak junior hingga sekarang?
Mungkin motivasi. Karena ya bisa dibilang dari beberapa tahun lalu, mungkin 5 sampai 6 atau bahkan 7 tahun ke belakang saya kan sudah jadi tulang punggung keluarga juga. Boleh dibilang mungkin itu salah satu faktor di mana ketika kita lagi berat di sini (bulu tangkis), ya saya mengingat itu dari motivasinya sendiri. Kayak ‘ayo bangkit lagi,’ inget keluarga semua segala macem ‘kalau lu enggak di sini lu mau jadi apa lagi kan.’
Karena boleh dibilang saat ini keahlian saya ya hanya di bulu tangkis gitu. ‘Jadi ya lu masih bisa kok untuk improve lagi gitu, mungkin pada saat ini memang belum rezeki saja gitu, mungkin next-nya ke depan ada rezeki lain.' Jadi lebih ke sana sih yang ngebuat saya jadi bertahan sampai sekarang ini, walaupun berjuang keras gitu.
Waktu kecil kan pernah main film King. Pernah terpikirkan untuk beralih profesi menjadi artis enggak? Atau hanya memang ingin jadi atlet aja?
Enggak ada kepikiran sih (jadi artis), enggak ada kepikiran atau terbesit sama sekali, karena main film itu juga bukan keinginan saya. Awalnya memang bukan saya yang pengen, karena ya kebetulan mereka lagi cari pemain dan waktu itu Papa saya coba saja ngikut. Coba deh ikut siapa tahu bisa nih.
Ya dari saya sendiri sih memang menolak akan hal itu tadinya, tapi ya memang mau enggak mau akhirnya ikut dalam bagian itu. Bahkan waktu itu coach saya, ketika masih di Tangkas juga, coach Hendri Saputra, ya dia juga bilang 'buat apa gitu?' Ya memang enggak ada kepikiran sama sekali sih untuk beralih ke sana (jadi artis).
(Djanti Virantika)